Mekanisasi pertanian merupakan introduksi dan penggunaan alat mekanis untuk melaksanakan operasi pertanian. Mekanisasi pertanian disebut juga sebagai aplikasi ilmu engenering untuk mengembangkan, mengorganisir dan mengatur semua operasi.
Mekanisasi pertanian sangat diperlukan untuk menghantar pertanian “subsistence” ke pertanian “transisi” menuju ke modernisasi dan mempersiapkan para petani untuk hidup di masa akan datang.
Penerapan mekanisasi sangat berhubungan dengan kemajuan – kemajuan bidang lain dari “Agricultural Engenering” dan berbentuk dalam satu atau lebih kombinasi dari bidang – bidang tersebut. Agricultural Engenering meliputi bidang – bidang Teknik Mesin Budidaya Pertanian (Farm Power and Machinery), Teknik Tanah dan Air (Soil and Water Engenering), Teknik Bangunan Pertanian (Farm Structures), Teknik Pengolahan Hasil Pertanian (Agricultural Product Procesing Engenering), Teknik Pelistrikan Pertanian (Farm Electrification), dan Teknik Pengolahan Pangan (Food Engenering).
“IMPACT MEKANISASI PERTANIAN TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN”
Ditinjau Dari Segi Ketenaga kerja
Mempunyai cadangan tenaga kerja yang terampil serta fleksibel karena terus menerus mau mendalami kemajuan, dan mendapatkan pelatihan dan penyuluhan yang berkelanjutan, yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan didalam sektor industri (industri pertanian—agro industri ataupun sector lainnya). Transformasi struktural dalam tenaga kerja tersebut dari sektor pertanian ke sektor yang lain itu merupakan akibat yang wajar dari peningkatan produktifitas di dalam sektor pertanian.
Kontribusi mekanisasi pertanian untuk tanaman pangan ditandai dengan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja pada pengolahan lahan, karena makin langkanya tenaga kerja manusia dan ternak pada daerah daerah beririgasi yang mempunyai intensitas tanam tinggi. Disamping itu, faktor budidaya tanam padi varietas unggul, memerlukan keserempakan tanam untuk dalam satu kawasan luas, untuk menghindari serangan hama dan memutus siklus hama. Oleh karena itu, volume pekerjaan menjadi meningkat waktu pengolahan lahan singkat sehingga jumlah curahan tenaga kerja untuk kegiatan tersebut meningkat.
Kasus diatas dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan 18% pada traktor, dan terutama didominasi oleh traktor kecil. Di Jawa, meskipun penduduknya lebih padat dari pulau pulau lain, populasi traktor pada tahun 2000 mencapai 50% dari total populasi di Indonesia atau sekitar 49,000 unit dari 101,000 unit. Dari 50% tersebut, propinsi Jawa Barat dengan luas areal sawah 1.2 juta hektar memiliki populasi traktor terbanyak, diikuti oleh propinsi Jawa Tengah, kemudian propinsi Jawa Timur .
Didaerah lain, traktor makin tahun juga meningkat jumlahnya, terutama pada daerah daerah yang mempunyai irigasi lebih baik seperti Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Lampung. Namun demikian belum dapat diduga parameter statistiknya antara perkembangan traktor dan intensitas tanam disuatu wilayah, namun dapat diduga bahwa mekanisasi pengolahan lahan akan sangat berkorelasi dengan jumlah lahan sawah irigasi dan intensitas tanamnya.
Pada kasus perluasan areal tanaman pangan, dapat disebutkan peranan pompa air irigasi, terutama untuk wilayah wilayah yang mempunyai air tanah dangkal didaerah Sragen (Jawa Tengah), Ngawi, Kediri, dan Madiun di Jawa Timur. Pompa air memungkinkan perubahan pola tanam 1 kali menjadi 2 atau lebih dalam setahun. Peningkatan intensitas tanam tersebut dimungkinkan karena faktor air sebagai kendala utama dapat dipecahkan, dan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, karena bertambahnya jumlah tanaman per tahun. Namun demikian, meskipun input teknologi pompa air-nya sendiri hanya memberikan margin keuntungan yang sedikit, karena biaya air tidak sesuai dengan biaya pokok yang harus ditanggung oleh pompa air (Ditjentan, 1979; Balai Besar, 2000, Ditjen
Tananam Pangan 2000).
Akan tetapi walaupun melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di perdesaan kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang. Sebagai akibatnya, penduduk miskin di sektor pertanian akan melimpah pula.
Ditinjau Dari Segi Sosial Budaya Dan Agama
Dengan mekanisasi pertanian yang modern dan berwawasan agribisnis dikembangkan dan dibangun dari pertanian tradisionil melalui proses modernisasi. Pada prinsipnya, modernisasi menuntut terjadinya perubahan dan pembaharuan sistim nilai dan budaya. Modernisasi berarti melakukan reformasi terhadap norma dan budaya yang tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, kurang produktif, kurang efisien dan tidak memiliki daya saing. Perubahan tersebut perlu waktu, harus terjadi dalam lingkup integral dan tidak hanya mencakup aspek-aspek teknis, ekonomis, politis melainkan juga aspek penghidupan sosio-kulturil.
Pengembangan mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen yang mampu memberikan kontribusi optimal kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Dimana pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan landasan yang kuat bagi berlangsungnya pengembangan mekanisasi pertanian , sebagai wahana perubahan budaya pertanian tradisional ke budaya pertanian industrial atau modern.
Adanya modernisasi mekanisasi/ tekhnologi pertanian di satu sisi mengakibatkan naiknya tingkat rasionalitas (nilai tiori), orientasi ekonomi dan nilai kuasa,sementara pada sisi lain modernisasi mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan (nilai agama), nilai gotong royong (solidaritas) dan nilai seni mengalami komersialisasi. Modernisasi dapat juga menaikan semua nilai budaya yang di uraikan di atas. Kenyataan memperlihatkan bahwa nilai yang sangat dominant mengalami pergeseran adalah naiknya tingkat rasinolitas (nilai tiori), orientasi financial (nilai ekonomi) sebagai dampat kebijaksanaan pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang diikuti oleh pesatnya penerapan ilmu dan technologi. Sehinga pergeseran nilai dan peransosial budaya terjadi, karena modernisasi menururt Schoorl (1991) tidak sama persis dengan pembangunan. Modernisasi lebih banyak diwarnai oleh gejala perubahan tekhnologi dan berkembangnya ekonomi pasar. Sedangkan pembangunan lebih menitik beratkan pada adanya perubahan struktur masyarakat.
Dahulu, sebelum ada dan diterapkanya teknologi biologis dan teknologi biokimia, mulai dari pembukaan dan pengolahan lahan, menggarap sawah/ladang sampai pada menjelang dan pasca panen, nilai agama (kepercayaan) selalu mendominasi setiap langkah para petani. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan adanya kebiasan para petani yang mencari dan menentukan hari dan bulan baik untuk bercacok tanam dan memanen hasil pertaniannya. Sebelum pelaksanaan panen padi misalnya, di sekeliling sawah/ladang selalu didahului dengan acara do’a dan selamatan bersama agar hasil panenya meningkat dan mendapatkan perlindungan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Eksistensi nilai agama (kepercayaan) tersebut, setelah hadir dan diterapkanya teknologi biologis dan biokimia, telah bergeser dan bahkan ada yang telah hilang sama sekali diganti oleh nilai-nilai yang bersifat rasional. Wawasan dan cara berfikir mereka menjadi lebih terbuka bahwa meningkatnya hasil panen tidak semata-mata ditentukan oleh dilaksanakanya do’a selamatan disekeliling sawah/ladang,tetapi ditentukan oleh penanaman bibit unggul, cara pengolahan, penggunaan pupuk, pemberantasan hama sampai kepada penanganan pasca panen. Hal ini menunjukan bahwa cara dan tingkat rasionalitas berfikir mereka semakin meningkat dan bertambah maju, sementara nilai-nilai agama (kepercayaan) makin luntur dan memudar.
Majunya cara berfikir diatas didukung oleh adanya pelaksanaan program pemerataan pendidikan melalui kejar paket , wajib belajar dan media masa secara pasti mampu mengajak masyarakat untuk berfikir dan bertindak berdasar logika (nilai teori). Artinya baik buruknya sesuatu tidak lagi berdasarkan pada nilai-nilai kepercayaan. Fenomena ini tanpak jelas pada pola tingkah laku mereka sebagai refleksi dari cara berfikirnya yang telah mengalami pergeseran.
Sebelum adanya program mekanisasi, para petani menggarap sawahnya dengan menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Sekarang ;lahan pertanian sudah digarap dengan bantuan mesin (menyewa traktor milik pemodal). Demikian juga dalam pelaksanaan panen yang dulunya banyak melibatkan para tetangga memangterlihat tidak efesien-dengan adanya tresser (mesin perontok padi) penggunaan tenaga manusia menjadi berkurang. Penggunaan alat ini disatu sisi memang menguntungkan, tapi disisi lain pola hubungan antar masyarakat petani, jelas merenggankan kohesi social, dan secara ekologis karena gabahnya tidak ada yang tercecer menyebabkan populasi burung menurun atau bermigrasi ketempat lain. Padahal keberadan burung merupakan salah satu mata rantai makanan dalam suatu ekosistem masyarakat petani.
Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi atau kedelai di ladang atau panenan, pasti tidak bayar, upahnya hanya makan pagi dan siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga. Sekarang keadaanya telah bergeser, kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan sekarang jika ada gentong dipukul untuk menggotong rumah tetangga, banyak orang yang berfikir praktis, cukup memberi uang dan tidak udah ikut gotong royong. Persoalanya mengapa hal ini terjadi ?
Adanya desakan ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan berat untuk mempertahankan model gotong royong seperti diatas, dan memang tidak harus dipertahankan benar-asal proporsional. Pola pikir praktis dengan hanya memberi uang tanpa mau terlibat gotong royong jelas merupakan pertanda erosi nilai dan munculnya nilai baru yakni indivualisme pada masyarakat perdesaan, Munculnya nilai individualisme ini terjadi karena semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang banyak dikuasai oleh tuan tanah lokal atau masuknya petani berdasi dari kota.
Jika dahulu yang namanya pekulen itu sampai dilempar orang kampung karena tidak membayar pajak pada pemerintah. Banyak pekulen Yang memiliki sawah 1 Ha – 2 Ha malas menggarapnya, karena kebanyakan tanah, tapi sekarang semua pada lapar tanah, bahkan banyak juga orang kota datang untuk menggusur orang desa untuk memperluas daerah bisnisnya. Dari sini lalu tumbuh benih – benih individualisme di kampung – kampung yang dulu damai dan penuh kekerabatan.
Benih-benih individualisme di atas banyak dicontohkan oleh orang – orang kampung yang relatif terpelajar. Diantara mereka sekarang banyak membuat pagar tembok sekeliling rumahnya dan ada juga yang membuat dasar lantai rumah yang tinggi, padahal dulu perbuatan ini dianggap angkuh dan dinilai tidak memiliki rasa kebersamaan. Jadi rasa kebersmaan yang dulu ada di kampung, sekarang tidak terlihat lagi, kalau di kota barangkali hal ini dapat dimengerti.
Dahulu jika ada orang yang hendak bertransmigrasi atau pindah tempat tinggal, itu pasti ditangisi oleh warga kampungnya. Keadaan sekarang sudah berubah, hendak pergi jauh atau mau pindah ke mana, mereka sudah tidak perduli, bahkan merasa bersyukur supaya kampung lebih sepi dan luas. Jadi rasa kegotong – royongan itu bukan saja sudah tererosi, tapi malah lebih sedikit dari sisa yang tererosi itu.
Fenomena di atas menjadi indikasi bahwa nilai gotong – royong,nilai solidaritas sosial di perdesaan telah menurun tajam, sedangkan nilai kuasa semakin meningkat dan menguat. Penguatan nilai kuasa ini dapat dilihat dari kondisi riil bahwa para petani dipedesaan telah menggunakan kuasanya dalam menggarap sawahnya, memanen padi, menyewa traktor dan dalam berbagai kegiatan lainnya, yang sebelumnya mungkin karena ikatan-ikatan tradisional harus mereka kerjakan dengan mengikutsertakan petani tetangga atau petani sedesanya. Keadaan ini menjadi pertanda yang jelas bahwa masuknya teknologi mekanisasi pertanian memang menguntungkan sekaligus juga menumbuhkan benih – benih individualisme masyarakat petani yang sebelumnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Nilai seni di masyarakat-pun mengalami pergeseran ke arah komersialisasi, padahal dulu seni lebih didominasi oleh rasa seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material. Wayang kulit, wayang golek atau bentuk kesenian rakyat lainnya, kini sudah banyak diberi pesan sponsor, sehingga tidak lagi menghasilkan kesenian yang bermakna dalam memberi kontribusi nilai kepada kehidupan, bahkan dengan adanya pesan – pesan sponsor, nilai kesenian menjadi jelek dan tidak mandiri lagi.
Dahulu , kesenian ronggeng tidak bayar, habis penen langsung mengadakan pentas ronggeng dan penonton secara sukarela menyumbang langsung. Tapi ronggeng sekarang sudah pasang tarif, demikian juga dalang. Jadi seni sudah mengalami komersialisasi yang sangat parah, kesenian kampung menjadi tidak asli lagi, karena pola konsumerisme sudah besar dan merambah kemana mana.
Ditinjau Dari Segi Peningkatan Produktivitas
Mekanisasi pertanian dan Teknologi Pasca Panen merupakan wahana untuk transformasi dari pertanian tradisional ke arah pertanian dengan budaya industri. Dan juga mekanisasi merupakan sebagai suatu sub sistem IPTEK memiliki arti yang sangat strategis, karena dengan (mekanisasi pertanian ) termasuk teknologi pasca panen), akan didorong pergeseran kearah produktivtas dan efisiensi usaha tani tradisional ke usaha tani komersial atau modern.Adanya pengembangan kelembagaan mekanisasi pertanian dipedesaan. Dimana kelembagaan bukan terbatas hanya pada institusi fisik seperti organisasi pemerintah, namun juga berkaitan dengan supporting system yang dibutuhkan untuk melayani pengembangan mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen. Antara lain adalah keberadaan kelompok tani desa, asosiasi pengusaha, dealership, UPJA, lembaga kredit atau keuangan desa, lembaga penjamin kredit desa, asuransi ( jika appropriate pada saatnya), bengkel dan industri perawatan dan pemeliharaan yang perlu dihidupkan. Sehingga dengan adanya lembaga lembaga tersebut, keberlanjutan operasi mekanisasi pertanian dipedesaan dapat dijamin berlangsung terus. Juga pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan dan pengembangan mekanisasi pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat.
Bersamaan dengan penerapan berbagai macam teknologi pertanian di perdesaan, pemerintah juga memperkenalkan program pembangunan desa melalui bantuan desa. Pada program ini, pemerintah tidak membenarkan lagi proyek-proyek desa dilaksanakan secara gotong royong tanpa disertai dengan imbalan gaji/upah. Akibatnya, dalam mengerjakan sawah, nilai tolong menolong (gotong royong) pun juga sudah lebih sedikit jika dibandingkan dengan dua atau tiga puluh tahun yang lalu.
Pembangunan sekarang ini semakin menjauhkan jarak antara yang kaya dan yang miskin. Petani kaya dengan modal 2 Ha tanah semakin enak dan kaya , karena tanahnya disewakan jutaan rupiah pertahun dengan tanpa resiko rugi. Sebaliknya petani miskin bertambah miskin dan susah. Hendak naik gunung saja, sekarang jangankan kayu, daun jati saja sudah tidak boleh diambil, karena sudah dikuasai oleh pemegang HPH dari kota. Akibatnya, petani miskin mati kelaparan di Negaranya yang subur.
Pembangunan sektor pertanian telah membawa pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya masysarakat petani. Hal ini tampak pada semakin meningkatnya orientasi ekonomi dan rasionalitas berpikir masyarakat petani, sementara nilai kepercayaan dan rasa solidaritas, kegotongroyongan terlihat sermakin luntur, bahkan sangat mungkin akan hilang sama sekali.
Sekalipun demikian, pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya tidak semuanya buruk (negatif). Kecuali sebagai intensitas pelaksanaan pembangunan di satu sisi, pergeseran nilai sosial budaya bahkan- mungkin- menjadi kekuatan pendorong bagi keberhasilan pembangunan sektor pertanian.
Pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya juga dapat menjelaskan seperti mengapa partisipasi masyarakat perdesaan dalam kegiatan pembangunan rendah. Partisispasi ini mungkin dapat di tingkatkan dengan menyesuaikan nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya yang berlaku di masyarakat tersebut.
Adanya pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya ini juga mengisaratkan kuatnya harapan masyarakat perdesaan untuk menuju perbaikan taraf kehidupan mereka. Oleh karena itu, dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat pedesaan, kecuali perlunya perhatian terhadap aspirasi masyarakat yang tercermin dalam nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya mereka pada saat ini, juga perlu dan harus melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan terlebih dahulu yang sesuai dengan modernisasi, sehingga pelaksanaan program pembangunan (pemberdayaan masyarakat pedesaan) dapat mengena pada sasaran yang diinginkan.
Ditinjau Dari Segi Sosial Ekonomi
Berbagai studi menyebutkan, bahwa alat dan mesin pertanian memiliki kaitan sangat erat dengan dinamika sosial ekonomi dari sistem budidaya pertaniannya. Sumbangan alat dan mesin pertanian dalam pembangunan pertanian dapat diukur pada berbagai kasus, misalnya penggunaan pompa ai tanah di Jawa Imur yang mampu merubah pola tanam dari padi-bero menjadi padi - padi atau padi – palawija palawija. Demikian pula penggunaan mesin perontok padi yang menurunkan susut panen dari > 5% menjadi kurang dari 2%. Penelitian terhadap perbaikan dan penyempurnaan mesin penggilingan padi mampu menaikkan rendemen giling cukup. Dan juga beberapa kasus pada pengolahan kakao dan kopi, juga memberikan indikasi, bahwa penggunaan alat dan mesin untuk sortasi, pengeringan, dan penanganan primer hasil kakao dan kopi mampu meningkatkan kualitas hasil dan pada akhirnya mengangkat nilai tambah hasil pertanian Dalam sistem agribisnis yang terbagi dalam empat sub sistem yaitu sub sistem agribisnis hulu sampai pada sub sistem agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran), peran alsintan diperlukan.
Ditinjau Dari Segi Perluasan Areal Baru
Peran mekanisasi pertanian pada perluasan areal baru, terutama pada lahan pasang surut, sulfat masam, lahan bergambut, memberikan prospek yang cukup baik dalam kaitannya dengan usaha pelestarian swa sembada beras. Hasil penelitian, studi dan pengamatan di berbagai ekosistem tersebut memberikan indikasi bahwa marginalitas lahan tersebut bersifat dinamis, dimana unsur waktu, perkembangan teknologi budidaya padi, kelembagaan alih teknologi memegang peranan penting dalam mematangkan tanah (Puslitbangtan, 1996). Unsur kepekaan (sensitivity) mekanisasi pada lahan tersebut ditunjukkan oleh keberadaan gambut, pirit, kematangan lahan (n-faktor) dan indeks konis (cone indeks) dan tinggi genangan air. Dengan determinan tersebut, mekanisasi pertanian pada ekosistem rawa, pasang surut dan lahan bergambut harus selektif dan memandu dilakukannya suatu pemilihan alsintan yang spesifik, manajemen operasi dan kelembagaan pengaturannya (Tim Studi Mekanisasi Lahan Rawa/ Gambut, 1997).
Ditinjau Dari Segi Sumber Daya Manusia
Dengan adanya pengembangan mekanisasi pertanian maka akan meningkatkan sumber daya manusia atau juga meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Karena kemampuan Sumber Daya Manusia dibutuhkan tidak hanya untuk mengoperasikan mekanisasi pertanian secara fisik sebagai operator teknologi, namun juga diperlukan dalam manajemen sistem teknologi. Manajemen Sistem Teknologi tersebut dimulai dari pemilihan ( seleksi), pengujian dan evaluasi, serta penciptaan teknologi baru yang sepadan dengan perkembangan zaman. Pergeseran sistem pertanian dari padat tenaga kerja ke padat modal dengan menggunakan mekanisasi pertanian memerlukan keahlian dalam merencanakan, menganalisa, dan memberikan keputusan keputusan yang tepat.
Masyarakat perdesaan-orang kampung- sebetulnya banyak yang tidak mengerti bahwa pembangunan itu untuk siapa, karena terlampau sedikit hasil pembangunan dirasakan oleh orang desa. Modernisasi pertanian, misalnya hasilnya memang dirasakan, tetapi oleh mereka yang awalnya sudah kenyang (kaya), karena mereka punya tanah. Petani yang tanahnya sedikit, apalagi yang tidak punya, kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya sama sekali tidak ada artinya.
Pembangunan yang menyangkut bibit-bibit unggul memang mereka rasakan, tetapi untuk menaikan derajat kehidupan, sama sekali tidak ada perubahan yang mendasar. Petani yang pada tahun 1970-an sebagai derap- buruh upah panenan- sampai sekarang masih sebagai buruh derap. Berbeda dengan para petani yang sejak awal memiliki tanah 1-2 Ha, sekarang relatif bertambah kaya dan makmur, jadi yang teranggkat bukan lapisan bawahnya.
Hal tersebut terjadi karena modernisasi yang dibawa kedesa tanpa adanya pertimbangan dan analisa yang matang. Mestinya, modernisasi harus melalui tahapan persiapan sarana pengetahuan lebih dahulu yang sesuai dengan rencana modernisasi. Karena itu perlu disiapkan agar masyarakat di perdesaan memiliki rasa kemandirian- transformasi semangat dan rasa optimis.
Demikian juga dengan kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya. Karena tidak diberi wawasan terlebih dahulu tentang traktor dan instrumen pertanian lainya, untuk 1-2 hari mungkin tidak ada masalah, tetapi untuk sekian bulan berikutnya, bila ada metalnya klok, murnya copot, spuyernya lepas, terpaksa menyerah bulat- bulat kebengkel Cina. Tukang bengkel bilang bayarnya Rp. 100.000,- terpaksa harus membayar Rp. 100.000.-. Jika hal ini terjadi, berarti nilai produktifitas mesin menjadi hilang bahkan bisa menjadi minus. Hal ini bisa saja terjadi, jika sebelumnya tidak ada transformasi nilai atau ilmu penetahuan mengenai hal tersebut.
Ditinjau Dari Segi Pangan
Dengan adanya mekanisasi pertanian maka akan ada pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini dikarenakan pada umumnya penghidupan masyarakat pedesaan dari sektor pertanian.
Ditinjau Dari Pengaruh Globalisasi
Globalisasi perdagangan merupakan masalah sekaligus peluang dalam pembangunan/ pengembangan mekanisasi pertanian. Beberapa implikasi dari dinamika lingkungan internasional tersebut, adalah: (1) setiap negara harus meningkatkan dayasaing produknya agar tidak tersisih oleh produk-produk impor, di sisi lain kita dapat memanfaatkan pasar global yang semakin terbuta; dan (2) globalisasi disatu sisi akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dalam negeri dalam hal keragaman, mutu dan keamanan produk pangan
sumber: saipol-book
Tidak ada komentar:
Posting Komentar