Selasa, 30 April 2013

Pembuatan Kertas Dari Enceng Gondok




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Eceng Gondok (Eichornia crassipes) termasuk dalam kelompok gulma perairan. Tanaman ini memiliki kecepatan berkembang biak vegetatif yang sangat tinggi, terutama di daerah tropis dan subtropis. Eceng gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air yang pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh ilmuwan bernama Karl Von Mortius pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di sungai Amazon Brazilia.
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Eceng gondok ini sering tumbuh di danau, waduk, ataupun rawa. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Eceng gondok yang berkembang di Rawapening, salah satu obyek wisata di Ambarawa Jawa Tengah saat ini telah mencapai jumlah yang sangat diri terhadap perubahan keadaan lingkungan. Satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m2. Bisa dibayangkan, selama 106 tahun berada di bumi Indonesia eceng gondok telah menyebar ke seluruh perairan yang ada dan memenuhi setiap jengkalnya, baik waduk, rawa, danau, maupun sungai. Berbagai gangguan yang banyak. Dari permukaan air Rawapening yang berkisar 7200 hektar, ± 6000 hektar diantaranya tertutup eceng gondok. Tertutupnya permukaan perairan menyebabkan berkurangnya jenis binatang air dan pendapatan petani serta pengunjung wisata daerah tersebut. Meskipun cukup merepotkan, keberadaan eceng gondok bisa juga bermanfaat secara komersial. Tak seorang pun dapat menduga sebelumnya, bahwa usaha pemerintah yang habis-habisan untuk  membasmi eceng gondok yang belum mencapai hasil yang optimal justru membuahkan penemuan baru yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari penggunaan eceng gondok. Batang eceng gondok dapat dijadikan sebagai bahan baku produk kerajinan anyaman yang dapat dikomersialkan. Hanya dengan berbekal ketrampilan yang mudah dipelajari, didukung dengan kemauan, kreatifitas dan seni, maka eceng gondok dapat diolah menjadi kerajinan tas, sepatu, sandal, keranjang, tempat tissue bahkan dapat dibuat mebel seperti kursi, meja dan sofa.
Eceng gondok di Rawapening tersedia dalam jumlah yang sangat besar, namun belum banyak pengrajin atau pengusaha kerajinan yang memanfaatkannya. Saat ini baru 3 orang pengrajin sekaligus pengusaha kerajinan eceng gondok yang memanfaatkannya. Ketiga pengrajin tersebut memiliki spesialisasi produksi yang berbeda, yang pertama sepatu dan sandal, kedua kerajinan tas, nampan, tempat kue, tempat tissue serta keranjang, yang ketiga khusus meja dan kursi. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kerajinan yang unik, karena selama ini eceng gondok dianggap sebagai sampah dan hama diperairan, namun ternyata dapat berubah menjadi komoditi usaha yang menjanjikan jika dolah menjadi berbagai jenis kerajinan yang menarik, berseni dan berdaya jual tinggi.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Kandungan zat apa yang terdapat pada eceng gondok sehingga dapat dibuat kertas seni?
2.    Teknologi seperti apa yang dilakukan dalam pembuatan kertas seni menggunakan eceng gondok?
3.    Selain dimanfaatkan sebagai kertas seni, enceng gondok dapat dimanfaatkan untuk kerajinan apa?

1.3    Tujuan
Tujuan pembuatan kerajinan kertas seni dari eceng gondok ini adalah:
1.    Menyediakan bahan belajar tentang cara membuat kerajinan eceng gondok.
2.    Memberikan informasi tentang usaha produksi kerajinan eceng gondok.
3.    Memperkenalkan kepada masyarakat tentang kerajinan eceng gondok.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eceng Gondok
Eceng  gondok  merupakan  gulma  yang  tumbuh  di  wilayah  perairan  yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada  air  yang  dangkal. Gulma  air  tersebut  juga  banyak  terdapat  di waduk-waduk (Artati, 2006).
Eceng  gondok  berkembang  biak  dengan  sangat  cepat,  baik  secara  vegetatif maupun  generatif. Perkembangbiakan  dengan  cara  vegetatif  dapat  melipat  ganda dalam  waktu  7-10  hari.  Enceng  gondok  merupakan  tanaman  asli  Brazil  yang didatangkan  ke  indonesia  tahun  1894  untuk  melengkapi  koleksi  tanaman  di  Kebun Raya Bogor. Tanaman  ini telah  menyebar ke seluruh perairan  yang ada, baik waduk, rawa,  maupun  sungai  di  perairan  Jawa,  sumatera,  Kalimantan  dan  daerah  lainnya (Suprapti, 2008).
Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2 (Pasaribu, 2007).
Pemanfaatan  enceng  gondok  sebagai  bahan baku  pembuatan  papan  partikel  merupakan  salah  satu  alternatif  manfaat  yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan  eceng  gondok  maka  populasinya  diharapkan  dapat  dikontrol,  sehingga permasalahan  yang  timbul  sebagaimana  yang  dipaparkan  sebelumnya  dapat  diatasi (Santoso, 2005).

2.2 Proses Pembuatan Kertas
Tahapan utama dan proses sederhana dalam pembuatan pulp dan kertas adalah sebagai berikut (Manarisip, 2001):


A.      Pembuatan  Bubur Kertas
Pembuatan bubur kertas yaitu pulp direndam dalam air, dihaluskan hingga menjadi bubur. Dalam tangki pencampur, pulp dicampur dengan air men6jadi slurry. Slurry kemudian dibersihkan lebih lanjut dan dikirimkan ke mesin kertas. Bubur kertas sambil diaduk ditambahkan bahan penolong yaitu kanji, rosin dan aluminium sulfat (kanji untuk daya rekat kertas sedangkan rosin dan aluminium sulfat untuk daya serap air supaya tidak blobor).

B.       Pembentukan lembaran
Bubur kertas hasil pencampuran dibuat lembaran menggunakan cetakan dari kasa 200 mesh dengan ukuran panjang dan lebar sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Tiriskan bubur  kertas di atas kasa menggunakan bahan penyerap. Apabila akan diterakan motif/corak  tertentu pada permukaan lembaran, lakukan penirisan sebagian air kira-kira  1 cm di atas kasa, kemudian atur motif sesuai keinginan, dan tiriskan air yang tersisa.

C.       Pengepresan
Lembar kertas yang diangkat dari kasa masih banyak mengandung air dan harus dikeluarkan. Untuk mengurangi  kandungan air tersebut dilakukan pengepresan dengan alat pres manual sampai air tidak menetes lagi dari lembaran, kira-kira sampai kadar air 40 %.

D.      Pengeringan
Untuk mendapatkan kertas yang kering, tahap terakhir dilakukan pengeringan  dengan cara dijemur atau dianginkan.

2.3 Manfaat Dan Kerugian Yang Ditimbulkan Eceng Gondok
Kemampuan perkembangbiakannya yang  tinggi dan penyesuaian dirinya yang baik pada berbagai iklim membuat tanaman ini telah tersebar  luas di dunia terutama di negara-negara tropis dan subtropis.  Penanggulangan tanaman ini sangat sukar sehingga terus menerus menimbulkan problema-problema yang berhubungan dengan navigasi, control banjir, agrikultur, irigasi dan drainase, nilai dari tanah, konservasi satwa liar, perikanan, suplai sumber air, kesehatan lingkungan dan lainnya sehingga pantaslah apabila tanaman ini digelari  sebagai “Gulma (tanaman pengganggu) terburuk di dunia” dan “Gulma dengan biaya pengelolaan jutaan dollar”. Kondisi merugikan yang timbul sebagai dampak pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali di antaranya adalah (Taufikurahman, 2008):

1.    Meningkatnya evapontranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
2.    Menurunnya jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
3.    Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
4.    Meningkatnya habitat bagi faktor penyakit pada manusia.
5.    Menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
Eceng gondok dapat juga dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas air yang tercemar, khususnya terhadap limbah  domestik dan industri sebab eceng gondok memiliki kemampuan menyerap zat pencemar yang lebih baik dibandingkan jenis tumbuhan lainnya. Eceng gondok merupakan sumber lignoselulosa yang dapat dikonversi menjadi produk yang lebih berguna.











BAB III
PROSES PEMBUATAN KERTAS

Panjang ataupun pendeknya serat sangat mempengaruhi kekuatan kertas dan pembentukan formasi serat pada kertas. Dimensi yang sesuai dalam lembaran kertas akan memberikan formasi serat yang baik, yaitu ditandai dengan bila diterawang, maka pada formasi kertas kelihatan tidak berawan. Sehingga akan memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap kekuatan retak (bursthing strength), sesuai dengan karakter sifat-sifat fisik kertas. Dari percobaan-percobaan yang telah dilaksanakan dapat diketahui, bahwa serat eceng gondok mempunyai pembentukan formasi serat yang baik, yaitu ditandai dengan tidak terjadinya penyusutan dimensi kertas di atas cetakan, yaitu tetap melekat pada cetakan setelah kering.

3.1    Rendemen Kertas
Untuk basis 1,5 kg eceng gondok kering yang diambil dari rawa Martubung, dilakukan pemasakan dengan menggunakan larutan NaOH 2,5%. Setelah dilakukan pengeringan  diperoleh  pulp kering eceng gondok sebesar 337,5 gram atau 0,3375 kg. Rendemen pemasakan pulp eceng gondok diperoleh 22,5%. Dengan perlakuan yang sama eceng gondok yang berasal dari Danau Toba rendemennya sebesar 22,0% dan eceng gondok yang berasal dari rawa Simalingkar diperoleh rendemen  21,5%. Perbedaan besar rendemen dari 3 lokasi yang berbeda diakibatkan oleh kesalahan dan  kekurang hati-hatian saat melakukan penghalusan yang tidak merata dan penyaringan serta pencetakan dan dipengaruhi banyaknya kandungan logam.  Rendemen ini tergolong rendah kalau dibandingkan pulp yang  berasal dari kayu yang bisa mencapai 80 – 90 %.

3.2    Ketebalan Kertas
Sampel yang diukur adalah ukuran luas 10 x 10 cm dan dipilih kertas yang terbaik. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali untuk memperoleh  hasil yang lebih akurat. Pengukuran dilakukan pada jarak 10 mm  dari tepi kertas dengan tempat yang berbeda.

3.3    Teknologi Pengolahan Eceng Gondok Sebagai Kertas Seni
Teknologi pengolahan eceng gondok sebagai bahan baku kertas seni sangat sederhana. Untuk meningkatkan mutu kertas yang diproduksi, kertas eceng gondok dicampur dengan  pulp  kertas bekas.  Prosedur pembuatan kertas daur ulang campuran eceng gondok dan kertas  bekas ditunjukkan pada Gambar 1.



1.    Penyediaan Bahan Baku
Bahan baku eceng gondok diambil dari pinggiran Danau Toba.  Bagian tumbuhan ini yang diambil adalah bagian batangnya saja, dengan asumsi di bagian batang inilah terdapat paling tinggi seratnya.  Bagian pangkal dan daun sebenarnya dapat juga digunakan, akan tetapi dapat menimbulkan sedikit kesulitan dalam proses penggilingannya.  Bagian daun relatif lebih susah digiling/diblender.
Bagian batang eceng gondok ini kemudian dirajang dan dikeringkan sampai mencapai kering udara.  Proses ini di maksudkan agar pada saat pemasakan, NaOH dapat diserap dengan baik oleh eceng gondok.  Di samping itu, proses pengeringan ini diperlukan untuk mengurangi volume dari eceng gondok yang sangat volumenous.   Dari kegiatan penelitian yang dilakukan diketahui kadar air eceng gondok segar sebesar 1.676,56% atau mengandung air sebanyak 94,25%, dengan rendemen  pulp  dalam kondisi kering tanur sebesar 3,6%.   Dari pemanenan seluas 1 m2 eceng gondok mempunyai bobot segar sebesar 28 kg yang sebagian besar (84%) berupa batang.  Panjang batang/pelepah dapat mencapai 87 cm dengan diameter antara 1-3 cm.  Dilihat dari angka tersebut diketahui rendemen yang dihasilkan sangat rendah. Kemungkinan karena hal inilah yang menyebabkan bahan baku ini kurang diminati dalam rangka produksi kertas dalam skala besar, walaupun potensi dan perkembangbiakan dari eceng gondok ini tergolong tinggi.

2.    Proses Pulping Eceng Gondok
Eceng gondok yang sudah dalam keadaan kering udara dimasak dalam tong pemasak dengan perbandingan 1 kg eceng gondok : 4 lt air : 10 gr NaOH.  Pemberian NaOH dimaksudkan untuk mempercepat proses pemisahan serat. Proses pulping/pemasakan dilakukan pada suhu air mendidih selama 3 jam.  Pada masa 3 jam ini berakhir, akan didapat eceng gondok dalam bentuk bubur yang menyatu dengan air.  Untuk menghilangkan NaOH ini dilakukan pencucian sampai bersih, agar tidak meninggalkan bau dari larutan pemasaknya.  Sisa larutan pemasak dapat digunakan kembali dalam proses pemasakan berikutnya.

3.    Proses Penggilingan Kertas Bekas
Proses penggilingan kertas bekas yang sudah direndam, dilakukan terpisah dengan proses penggilingan eceng gondok.  Pada saat penggilingan kertas bekas, ditambahkan perekat PVAc kurang lebih 5%  dari berat kertas. Proses penggilingan juga masih dilakukan pada  pulp  eceng gondok, mengingat pada proses  pulping tidak dapat menghasilkan serat-serat lebih halus dan seragam. Dari segi teknis produksi, kertas koran bekas lebih mudah digiling, akan tetapi lebih susah dalam pewarnaan.  Waktu pencetakan lembaran lebih lama karena pengaruh serat-serat pendek dari kertas koran yang menyulitkan air keluar.  Kertas bekas berwarna putih seperti HVS lebih susah digiling akan tetapi lebih mudah dalam pewarnaan dan proses pencetakan lembaran.

4.    Pencetakan Lembaran
Proses pencetakan lembaran dimulai dengan melakukan pengenceran  pulp  kertas bekas dan pulp  eceng gondok.  Persentase dari campuran pada intinya dapat dilakukan pada tingkat yang berbeda-beda tergantung hasil kertas yang kita inginkan. Untuk lebih menonjolkan serat dari eceng gondok, dibuat persentase eceng gondoknya lebih besar.  Pewarnaan  dapat dilakukan sebelum proses pengenceran dan diupayakan dikondisikan beberapa jam agar warna yang diberikan dapat diserap dengan baik oleh pulp.  Pengenceran adonan campuran pulp ini perlu dilakukan agar dapat diproduksi  kertas yang tipis.  Karena alat yang digunakan adalah  manual, maka ketebalan kertas yang dihasilkan akan sangat variatif antar kertas maupun dalam satu lembaran kertas.  Perlu keterampilan dan pengalaman agar pada proses pencetakan dapat menghasilkan ketebalan kertas yang relatif seragam. Sebagai gambaran produksi, dari hasil percobaan pengolahan 1 kg eceng gondok kering dapat menghasilkan 262 lembar kertas seni dengan ukuran 330 x 215 x 0,21 mm.

5.    Pengeringan Kertas
Dengan menggunakan screen, kertas dicetak dan dipres pada selembar kain yang ditempatkan pada bidang yang kaku. Proses pengeringan dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari. Dalam keadaan matahari terik, selama 1 jam kertas sudah dalam kondisi kering. Apabila kondisi mendung, dapat juga dilakukan pengeringan dalam ruangan dengan jalan diangin-anginkan, walaupun kelihatannya kualitas kertas di bawah sinar matahari lebih bagus.  Untuk skala yang lebih besar perlu dipikirkan untuk membuat alat pengering misalnya dengan membuat ruang pengering dari plat/kaca atau dengan mengkombinasikan dengan tungku pembakaran.

6.    Kualitas Kertas
Pemanfaatan kertas seni umumnya sebagai kertas seni, sehingga penilaian kualitas kertas didasarkan pada keindahan relatif dari kertas.  Berbeda dengan penilaian kualitas kertas sebenarnya yang  menilai kualitas dari kekuatan tarik, kekuatan sobek, gramatur, dan lain-lain.  Kertas seni dengan campuran eceng gondok memiliki penampilan yang lebih indah karena menampilkan serat-serat yang muncul di permukaan kertas.  Berbeda dengan kertas tanpa campuran eceng gondok, kurang memiliki nilai artistik yang tidak jauh beda dengan kertas-kertas biasa.

3.4    Pemanfaatan Eceng Gondok
Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983 dalam Fahmi 2009). Pulp eceng gondok yang dihasilkan berwarna coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat dihasilkan melalui proses ini bagian tumbuhan eceng gondok setelah dikeringkan ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tas wanita yang cantik, kopor, sendal, keranjang (tempat pakaian bekas), tatakan gelas, tikar, nampan dan sebagainya. Malah belakangan ini banyak dimanfaatkan untuk mendukung industri mebel den furniture, sebagai pengganti rotan yang harganya semakin melangit. Hingga saat ini sudah banyak daerah yang mampu mengembangkan eceng gondok untuk pembuatan barang-barang kerajinan, mebel den furniture. Antara lain di Purbalingga, Dl Yogyakarta, sekitar Kota Solo, Cirebon, Lampung, Surabaya dan Bali. Bahkan sebagian barang-barang kerajinan eceng gondok dengan model dan kualitas tertentu, banyak diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat yang semakin gandrung dengan barang-barang produksi dari bahan-bahan alami (back to nature).






BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah dijelaskan mengenai proses pembuatan kertas menggunakan eceng gondok, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.    Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa.
2.    Pemanfaatan lain yang dapat dilakukan pada pengolahan eceng gondok yaitu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tas wanita yang cantik, kopor, sendal, keranjang (tempat pakaian bekas), tatakan gelas, tikar, nampan dan sebagainya.

4.2 Saran
Sebaiknya dalam pemanfaatan eceng gondok dilakukan secara maksimal. Karena hasil olahan berupa kertas seni atau lainnya dari eceng gondok dapat menghasilkan nilai tambah lebih bagi masyarakat.














DAFTAR PUSTAKA

Artati, E.K dan Fadilah. 2006. Delignifikasi Dengan  Proses Organosolv.   http://www.sirine.uns.ac.id/penelitian.php. Diakses tanggal 2 Januari 2013
Manarisip, J.M. 2001. Pemasyarakatan Pembuatan Kertas Seni. Menado
Pasaribu, G. 2007. Pengolahan  Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Kertas Seni. kalah Utama pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang
Santoso, B. D, Saputra dan Prasetyo, R. 2005. Kajian  Eceng  Gondok  sebagai  Bahan  Baku  Industri  dan Penyelamat  Lingkungan  Hidup  di  Perairan.  Prosiding  Seminar  Nasional  IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Samarinda
Suprapti,  S.  2008. Adaptasi  Morfologi  Fisiologi  dan  Anatomi  Enceng  Gondok (Eichhornia  crassipes  (Mart  Solm)  di  Berbagai  Perairan  Tercemar. Universitas Dipenogoro
Taufikurahman, A. 2008. Prospek  Pemanfaatan  Eceng  Gondok  dalam  Industri Pulp dan Kertas. Berita Selulosa, 29 (1) : 3-7


Alat-alat Ekstraksi dan prinsip kerja


*  EKSTRAKSI PADA INDUSTRI SAWIT
1.      Oil Clarifier

Minyak sawit yang didapatkan dari expeller masih berupa minyak kental karena mengandung partikel padat yang berwujud seperti lumpur dan susah dipisahkan dari minyak. Berbagai metoda telah digunakan oleh banyak ilmuwan untuk memisahkan padatan dari minyak, tetapi cara yang paling efektif adalah menambahkan banyak air pada minyak. Penambahan ini akan memisahkan minyak bening ke atas dan air bersama kotoran ke bawah.

       Alat berupa dua silinder, dengan satu silinder lebih kecil berada di dalam silinder yang lebih besar. Minyak dimasukkan kedalam silinder yang besar melalui bagian bawahnya. Minyak beningan akan naik ketas, seiring penambahan minyak ke dalam silinder besar. Minyak bening dari silinder besar selanjutnya mengisi silinder kecil dan dikeluarkan melaui bagian bawah silinder kecil. Minyak ini kemudian dipanaskan untuk mengurangi kadar air dan didapatkan CPO.


2.      Singgle/double Srew
Proses Ekstraksi Minyak dengan cara pengempaan menggunakan single/double Screw pada tekanan  40-50 Bar.Fungsi dari alat ini adalah untuk proses pengepresan buah sawit yang telah dilumatkan menjadi minyak sawit kasar (minyak yang belum di murnikan).

3.      Vakum Dryer


            Vacum dryer adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan air dari minyak dengan cara penguapan dalam kondisi hampa udara. Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah minyak dengan kadar air 0,1 – 0,15% dan kadar kotoran 0,013 – 0,015%.
Melalui tangki apung (float tank) inilah yang mengatur jumlah minyak, pertama minyak dialirkan ke vacum drayer.Minyak terhisap kedalam tabung melalui pemercikan (nozzle) karena adanya hampa udara dan minyak terpencar kedalam tabung hampa.


EKSTRAKSI PADA INDUSTRI OLEORESIN DARI CASSIA VERA

Alat ekstraksi oleoresin ini merupakan alat yang praktis dan menggunakan teknologi sederhana yang dapat diaplikasikan pada industri kecil dan menengah dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi produk cassia vera.


Prinsip Kerja

Sistem yang digunakan pada unit ini yaitu mekanisme dengan pemanasan yang diatur menggunakan thermostat dan pengadukan menggunakan motor penggerak berpengaduk. Ekstraksi dilakukan didalam silinder dengan volume 50 liter.Mekanisme penyaringan dilakukan dengan pengaturan pemakuman melalui kran-kran dan vakum meter.Penyaringan menggunakan kompressor yang dimodifikasi dari outletnya dengan meteran vakum memakai motor penggerak. Hasil uji coba dari 4 kg bahan memerlukan waktu penyaringan 50 menit, tekanan rata-rata 10 cm Hg dan dapat menyaring sebanyak 560 ml.Sistem penyulingan vakum ini dilakukan dengan pengaturan pemanasan memakai thermostat dan pemakukan memakai pompa vakum.

 EKSTRAKSI PADA INDUSTRI OBAT-OBATAN

Untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan serta menyediakan bahan baku obat herbal berkualitas terbaik, maka pada tahun 2003 Borobudur Natural Herbal Industry mendirikan unit ekstraksi modern yaitu Borobudur Extraction Center (BEC).


BEC menggunakan mesin berteknologi canggih buatan Jerman, menggunakan 3 tahapan dalam proses ekstraksi yaitu Perkolasi, Evaporasi dan Drying.

Perkolasi bertujuan untuk mengambil sari/kandungan bahan aktif dari rempah – rempah dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga didapat ekstrak cair. Proses ini dilakukan secara berkesinambungan sehingga menjamin kandungan bahan aktifnya optimal. Kapasitas perkolasi ini adalah 4 x 2000 liter sehingga dapat memproses 40 – 50 ton rempah kering per bulan.

Alat Ekstrak Vakum Multi Effect

Digunakan untuk penanganan proses Ekstraksi dan pengkonsentrasian cairan dalam farmasi, kimia, makanan, susu produk industri, terutama yang berlaku untuk berkonsentrasi obat termal di bawah system vakum dan suhu rendah).

EKSTRAKSI PADA INDUSTRI KOPI          
Ekstraksi menggunakan pelarut air. Prosesnya melalui dua tahap yaitu Perkolasi (dingin) dan Ekstraksi ( panas). Alatnya seperti yang dibawah ini :
Perkolasi



Ekstraksi per Batch

Aroma kopi dipertahankan dengan cara reverse osmosis menggunakan membran filtasi. Selain itu, proses ekstraksi dengan panas juga akan mempengaruhi aroma, untuk itu pasca ekstraksi proses berikutnya adalah pendinginan ekstrak hingga suhu di bawah nol derajat celcius.




8. Evaporasi ( Penguapan) :
Fungsinya adalah untuk mendapatkan kadar ekstrak ideal

Pemisahan :
Dipisah sesuai dengan kebutuhan hasil akhir olahan kopi yang dibutuhkan yaitu :
a. Spray Dried
b. Aglomerasi
c. Ekstraksi Biasa



Spray Drying
Prinsipnya adalah untuk menghilangkan air, dengan cara ekstrak dilewatkan dalam sebuah kolom; temperatur tinggi dalam kolom tersebut akan menguapkan air hingga didapatkan bubuk kopi. Bubuk kopi dikumpulkan pada bagian bawah kolom. Karbondioksida bertekanan tinggi disemburkan via nozzle dengan butiran halus kopi.

Alat spray drier seperti ini


Aglomerasi
Bubuk kopi spray dried direbus lagi untuk mendapatkan gumpalan antar partikel bubuk yang lebih besar, fungsinya adalah untuk mendapatkan rasa yang lebih kaya dan aroma yang lebih kuat.

Alat  aglomeratornya seperti ini :


Ekstraksi
Kopi hasil ekstraksi awalan tidak mengalami proses lagi, dan langsung dikemas. Kalau Anda mau tahu prinsip ekstraksi yang ini, begini ringkasnya :

DISTRIBUSI ZAT TERLARUT ANTARA DUA PELARUT YANG TIDAK TERCAMPUR



DISTRIBUSI ZAT TERLARUT ANTARA DUA PELARUT YANG TIDAK TERCAMPUR

Pada sistem heterogen, reaksi berlangsung antara dua fase atau lebih. Jadi pada sistem heterogen dapat dijumpai reaksi antara padat dan gas, atau antara padat dan cairan. Cara yang paling mudah untuk menyelesaikan persoalan pada sistem heterogen adalah menganggap komponen-komponen dalam reaksi bereaksi pada fase yang sama.

Hal-hal yang mempengaruhi kesetimbangan :
1. Pengaruh perubahan konsentrasi
Bila ke dalam sistem ditambahkan gas oksigen, maka posisi keseimbangan
akan bergeser untuk menetralkan efek penambahan oksigen.
2. Pengaruh tekanan
Bila tekanan dinaikkan, keseimbangan akan bergeser ke kiri yaitu mengarah pada pembentukan NO2. Dengan bergesernya ke kiri, maka volume akan berkurang sehingga akan mengurangi efek kenaikkan tekanan.
3. Pengaruh perubahan suhu
Reaksi pembentukan bersifat endotermik dan eksotermik. Jika suhu dinaikkan, maka keseimbangan akan bergeser ke kanan, kearah reaksi yang endotermik sehingga pengaruh kenaikkan suhu dikurangi.
Hukum Distribusi Nernst ini menyatakan bahwa solut akan mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu tetapan, yang disebut koefisien distribusi (KD), jika di dalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut di dalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti assosiasi, dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap-tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D).
Satu jenis kesetimbangan heterogen yang penting melibatkan pembagian suatu spesies terlarut antara dua fase pelarut yang tidak dapat bercampur. Misalkan dua larutan tak tercampur seperti air dan karbon tetraklorida dimasukkan kedalam bejana. Larutan-larutan ini terpisah menjadi dua fase dengan zat cair yang kerapatannya lebih rendah, dalam hal ini air berada dibagian atas larutan satunya. Contoh penggunaan hukum distribusi dalam kimia yaitu dalam proses ekstraksi dan proses kromatografi.

faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantaranya:
1. Temperatur yang digunakan.
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.

2. Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.

3. Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga k.

4. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.

Bila dua macam pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan kedalam suatu tempat, maka akan terlihat suatu batas, dimana hal ini menunjukkan dua pelarut tersebut tidak bercampur. Jika solut yang dapat bercampur baik dalam pelarut I maupun pelarut II ditambahkan pada kedua pelarut tersebut, maka akan terjadi pembagian solut yang terdistribusi dalam kedua pelarut tersebut.
Prinsip tersebut diatas dapat diaplikasikan pada metode pemisahan senyawa kimia yaitu ekstraksi yang menggunakan prinsip perbedaan kelarutan senyawa diantara dua pelarut tak bercampur. Salah satu jenis ekstraksi yaitu cair-cair yang menggunakan pelarut yang sama fasanya yaitu cair.
Solut yang terdistribusi pada kedua pelarut mempunyai harga potensial kimia (µ) sebagai berikut
µi = µi + RT ln ai          dimana ai adalah aktivitas solut dalam pelarut
Pada saat kesetimbangan kecepatan solut yang keluar dari pelarut yang satu sama dengan kecepatan solut yang keluar kepelarut yang lain sehingga potensial kimia pada kedua pelarut sama.
µi = µii
µi = µi + RT ln ai  =  µii + RT ln aii
      
Harga µi dan µii konstan pada temperatur dan tekanan tertentu  sehingga
K =      Koefisien partisi atau koefisien distribusi K adalah x’/x. Dimana x’ dan x adalah fraksi mol solut pada kedua pelarut.
Bila larutan encer maka mol fraksi sebanding dengan molaritas maupun molalitas
Perumusan tersebut berlaku selama berat molekul solut sama pada kedua pelarut. Bila berat molekul tidak sama akibat terjadinya asosiasi dan desosiasi solut di dalam salah satu pelarut. Sehingga untuk mendapatkan koefisien distribusi konstan diperlukan modifikasi pada kaidah sederhana tersebut.
Misal suatu solut C mempunyai molekul normal dalam pelarut I tetapi dalam pelarut II solut C berasosiasi membentuk senyawa komplek Cn
Bila dua macam pelarut yang tidak bercampur dimasukkan dalam suatu wadah atau tempat maka akan terlihat suatu batas. Hal ini antara lain menunjukkan bahwa 2 pelarut tersebut tidak bercampur. Jika suatu zat terlarut tersebut dapat bercampur baik dalam pelarut 1 maupun pelarut 2. Maka akan terjadi pembagian kelarutan kedalam dua pelarut tersebut yang pada suatu saat akan terjadi kesetimbangan. Dalam keadaan setimbang berarti zat terlarut dari pelarut yang satu keluar dan masuk kepelarut yang lain dan sebaliknya. Sehingga banyaknya zat terlarut dalam pelarut 1&2 pada keadaan setimbang disebut koefisien distribusi.
K = C1 / C2        
      
dengan,
 K: koefisien distribusi
C1 : konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1
C2 : konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 2

Harga K akan tetap jika berat molekul zat terlarut dalam pelarut 1 sama dengan berat molekul dalam pelarut 2. Apabila berat molekul tidak sama, maka akan terjadi disosiasi zat terlarut atau disosiasi zat terlarut dalam satu pelarut, misalnya:

Cn                               Nc

Bila dua macam pelarut yang tidak bercampur dimasukkan dalam suatu wadah atau tempat maka akan terlihat suatu batas. Hal ini antara lain menunjukkan bahwa 2 pelarut tersebut tidak bercampur. Jika suatu zat terlarut tersebut dapat bercampur baik dalam pelarut 1 maupun pelarut 2. Maka akan terjadi pembagian kelarutan kedalam dua pelarut tersebut yang pada suatu saat akan terjadi kesetimbangan. Dalam keadaan setimbang berarti zat terlarut dari pelarut yang satu keluar dan masuk kepelarut yang lain dan sebaliknya. Sehingga banyaknya zat terlarut dalam pelarut 1&2 pada keadaan setimbang disebut koefisien distribusi.

K = C1 / C2              
dengan
 K: koefisien distribusi
C1 : konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1
C2 : konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 2

Harga K akan tetap jika berat molekul zat terlarut dalam pelarut 1 sama dengan berat molekul dalam pelarut 2. Apabila berat molekul tidak sama, maka akan terjadi disosiasi zat terlarut atau disosiasi zat terlarut dalam satu pelarut, misalnya: 
Cn                               nC

PEMISAHAN CAMPURAN YANG TIDAK SALING BERCAMPUR
            Jenis metode pemisahan ada berbagai macam, diantaranya yang paling baik dan populer adalah ekstraksi pelarut atas ekstraksi air Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solut) di antara dua fasa cair yang tidak saling bercampur, seperti benzen, karbon tetraklorida atau kloroform, dengan batasan zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut.
Selain untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga banyak digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan preparatif dalam bidang kimia organik, biokimia dan anorganik di laboratorium. Alat yang digunakan dapat berupa corong pemisah  (paling sederhana), alat ekstraksi Soxhlet, sampai yang paling rumit, berupa alat “Counter Current Craig”.  
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan bersih baik untuk zat organik maupun zat anorganik. Secara umum, ekstraksi adalah proses penarikan suatu zat terlarut dari larutannya di dalam air oleh suatu pelarut lain yang tidak dapat bercampur dengan air.Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut
            Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut, maka akan terjadi pembagian kelarutan.
Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organik dan air. Dalam praktek solut akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi, yang dinyatakan dengan rumus:
 =     atau   =  
KD = koefisien distribusi
C1 = konsentrasi solute pada pelarut 1
C2 = konsentrasi solute pada pelarut 2
Co = konsentrasi solute pada pelarut organik
C= konsentrasi solute pada pelarut air
            Dari rumus tersebut  jika harga KDbesar,solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organikbegitu pula sebaliknya. Rumus tersebut hanya berlaku bila :
a.         Solute tidak terionisasi dalam salah satu pelarut
b.         Solute tidak berasosiasi dalam salah satu pelarut
c.         Zat terlarut tidak dapar bereaksi dengan salah satu pelarut atau adanya reaksi- reaksi lain.
            Iod mampu larut dalam air dan juga dalam kloroform. Akan tetapi, perbedaan kelarutannya dalam kedua pelarut tersebut cukup besar. Dengan mengekstraksi larutan iod dalam air ke dalam kloroform, menghitung konsentrasi awal dan sisa iod dalam air dengan cara titrasi, maka dapat diperoleh konsentrasi iod dalam kedua pelarut tersebut, sehingga koefisien distribusi KD iod dalam sistem kloroform-air dapat ditentukan.
Angka banding distribusi menyatakan perbandingan konsentrasi total zat terlarut dalam pelarut organik (fasa organik) dan pelarut air (fasa air).Jika zat terlarut itu adalah X maka rumus angka banding distribusi dapat ditulis :

            Untuk keperluan analisis kimia angka banding distribusi (D) akan lebih bermakna daripada koefisien distribusi (KD). Pada kondisi ideal dan tidak terjadi asosiasi, disosiasi atau polimerisasi, maka harga KD sama dengan D.

Ekstraksi adalah teknik yang sering digunakan bila senyawa organik (sebagian besar hidrofob) dilarutkan atau didispersikan dalam air. Pelarut yang tepat (cukup untuk melarutkan senyawa organik; seharusnya tidak hidrofob) ditambahkan pada fasa larutan dalam airnya, campuran kemudian diaduk dengan baik sehingga senyawa organik diekstraksi dengan baik. Lapisan organik dan air akan dapat dipisahkan dengan corong pisah, dan senyawa organik dapat diambil ulang dari lapisan organik dengan menyingkirkan pelarutnya. Pelarut yang paling sering digunakan adalah dietil eter C2H5OC2H5, yang memiliki titik didih rendah (sehingga mudah disingkirkan) dan dapat melarutkan berbagai senyawa organik.
Tekhnik ini (ekstraksi) bermanfaat untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Contoh yang baik adalah campuran fenol C6H5OH, anilin C6H5NH2dan toluen C6H5CH3, yang semuanya larut dalam dietil eter. Pertama anilin diekstraksi dengan asam encer. Kemudian fenol diekstraksi dengan basa encer. Toluen dapat dipisahkan dengan menguapkan pelarutnya. Asam yang digunakan untuk mengekstrak anilin ditambahi basa untuk mendaptkan kembali anilinnya, dan alkali yang digunakan mengekstrak fenol diasamkan untuk mendapatkan kembali fenolnya.
Bila senyawa organik tidak larut sama sekali dalam air, pemisahannya akan lengkap. Namun nyatanya, banyak senyawa organik, khususnya asam dan basa organik dalam derajat tertentu larut juga dalam air. Hal ini merupakan masalah dalam ekstraksi. Untuk memperkecil kehilangan yang disebabkan gejala pelarutan ini, disarankan untuk dilakukan ekstraksi berulang. Anggap anda diizinkan untuk menggunakan sejumlah tertentu pelarut. Daripada anda menggunakan keseluruhan pelarut itu untuk satu kali ekstraksi, lebih baik Anda menggunakan sebagian-sebagian pelarut untuk beberapa kali ekstraksi. Kemudian akhirnya menggabungkan bagian-bagian pelarut tadi. Dengan cara ini senyawa akan terekstraksi dengan lebih baik.